Home / Lifeliner / Rentang Peduli Pontjo Sutowo

Rentang Peduli Pontjo Sutowo

Kita Sudah Disorientasi Dalam Bernegara

Proses amendemen Konstitusi yang sudah terjadi empat kali telah membawa negara ini menjauh dari arasnya. Bahkan secara ekstrim banyak pengamat menilai dengan amendemen berulang –ulang itu kita telah mengganti Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang yang baru. Akibatnya tata kelola negara menjadi melenceng dan tidak efisien dan efektif. Kita, dalam kata-kata Ketua FKPPI Pontjo Sutowo, telah membuang waktu dan tenaga untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting dan mengabaikan hal-hal yang esensial.

Berbeda dari umumnya pengusaha yang sebahagian besar perhatiannya ditujukkan pada kapitalisasi usaha, Pontjo justru sangat intens terlibat di dalam masalah-masalah berbangsa dan bernegara untuk menjaga Indonesia tidak keluar dari tujuannya.

Melalui Aliansi Kebangsaan yang ia bentuk dan FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia) yang ia pimpin, ia menggelar diskusi, seminar dan penerbitan buku ataupun usulan kebijakan kepada pemerintah. Oleh berbagai kalangan ia dikenal sebagai pengusaha yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadinya. Konsistensinya menghidupan Pancasila dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara membuat dia berusaha membuat diskursus yang holistik mengenai geopolitik, geoekonomi dan geokultural.

Yang juga menarik adalah kekonsistenannya menggalang otoritas intelektual yang ia percayai menjadi penggerak utama perubahan. Ia menggagumi Budi Oetomo yang telah menginspirasi kaum intelektual Indonesia pada waktu itu untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dengan semangat yang sama ia menggulirkan berbagai pemikiran, diskursus dan peta jalan bersama semua anak bangsa dengan nasionalisme yang solid.

Kepada penulis, ia mengutarakan berbagai keprihatinannya mengenai salah kaprah yang terjadi di dalam kehidupan bernegara. Berikut petikannya.

Berbeda dari pengusaha-pengusaha pada umumnya yang berpikir tentang keuntungan jangka pendek, Anda menghabiskan banyak tenaga, pikiran dan uang untuk membawa bangsa ini berjalan dalam tracknya. Apa yang dapat Anda katakan?

Ya, karena saya melihat bahwa sudah banyak yang sudah kita capai sejak kemerdekaan kita, tetapi itu belum cukup jika dilihat dari potensi riil yang kita miliki. Apa yang sudah kita capai sejak kemerdekaan kita sebagai bangsa masih jauh dari apa yang diharapkan. Masih jauh dari potensi riil yang kita miliki. Bahkan bisa saya katakan bahwa kita sudah mengalami disorientasi dalam arti kita membuang buang waktu dan tenaga untuk mengerjakan apa yang tidak perlu.

Disorientasi seperti apa yang anda maksud?

Ya, jadi begini. Negara kita ini sudah dari sananya diberkahi dengan kekayaan alam yang berlimpah. Dulu, kita mempunyai rempah- rempah yang memikat orang-orang Eropa untuk datang. Kita juga kaya dengan minyak yang di jaman ayah saya menjadi Presiden Direktur menyumbang 70% untuk APBN kita. Ayah saya yang memperkenalkan Production Sharing Contract yang dipakai di seluruh dunia sampai saat ini dan, saat itu, ia mengangkat harga minyak kita dari satu dolar menjadi 35 dolar per barrel. Tetapi apakah kita sudah mengalami kemajuan yang berarti sejak saat-saat itu? Saya kira, kecuali ayah saya yang dituduh koruptor setelah apa yang ia perbuat untuk bangsa ini, kita masih tetap menjual kayu, batu bara dan sekarang nikel. Bahkan sekarang APBN kita harus menanggung beban subsidi sebesar 20% untuk memenuhi impor minyak karena kita sudah menjadi net importer. Kita memang memiliki banyak uang dari hasil menjual kekayaan alam itu, tetapi kita justru menggunakannya untuk membeli barang-barang konsumsi. Di sinilah kesalahan yang terus menerus kita lakukan dan kita merasa sah-sah saja hidup dari warisan ibu pertiwi. Dan lebih celaka lagi, kita cendrung berpikir gampangnya untuk mengatatasi persoalan dalam negeri. Misalnya, kalau tidak ada beras dalam negeri ya impor saja. Setelah habis beras dalam negeri, kita mengemis minta-minta jatah impor dari luar. Padahal, kalau di Jepang, misalnya, menterinya langsung diberhentikan kalau ia membolehkan impor beras.

Resource base versus knowledge base?

Secara berkelakar mantan Gubernur Bali I Made Prastika pernah bergurau orang Jawa jualan bakso dan beli tanah di Bali. Orang Bali jual tanah buat beli bakso. Kan parah ini. Inilah yag terjadi dengan kita bertahun-tahun, sejak kita merdeka dulu. Kita menjual kekayaan alam kita dan membeli barang-barang konsumptif. Disinilah letak kesalahannya. Dari cara kita melihat kekayaan bangsa ini. Kita harus melihat kekayaan bangsa ini tidak sebagai warisan nenek moyang tetapi titipan untuk anak cucu kita. Itu sebabnya kita tidak boleh menghabisi semua yang kita miliki sekarang.

Banyak pengamat mengatakan amendemen konstitusi justru memberi peluang kepada pihak luar mengeruk kekayaan alam kita. Apa komentar Anda?

Amendemen mendorong ke arah yang lebih buruk. Begini, biaya politik kita naik 100 kali dibanding sebelum amendemen. Biaya begitu mahalnya membuat kita harus menjual lebih banyak lagi kekayaan alam kita keluar negeri. Cara melihatnya seperti itu. Dan ekonomi kita didorong ke arah resource based economy yang tidak memberikan nilai tambah. Dengan resource based approach ini para pengusaha mencari untung dengan menempel ke pejabat yang atas nama negara menguasai sumber daya alam itu. Kan begitu. Lingkarannya berputar- putar seperti itu. Dan korupsi itu sangat gampang terjadi di sektor sumber daya alam itu. Kalau anda mengambil uang dari sumbangan orang untuk masjid, anda langsung ketahuan dan dikeroyok. Tetapi kalau anda diam-diam mengambil kekayaan alam, tidak ada yang tahu. Paling gampang korupsi terjadi di situ.

Asing mengatasnamakan pasar bebas?

Pasar bebas apa? Tidak ada itu pasar bebas. Yang ada supaya mereka bisa leluasa mengambil kekayaan alam dari kita. Kan itu intinya. Sekarang Pak Presiden Jokowi sudah berhasil dengan hilirisasi dan dapat menyumbang 30 miliar dolar US atau 450 triliun lebih. Itu sudah baik tetapi tidak cukup berhenti disitu. Kekayaan laut kita luar biasa, seperti lobster. Tetapi Vietnam yang mengambil untungnya karena mereka menguasai teknologinya. Hal-hal seperti ini yang harus serius dipikirkan.

Bagaimana untuk keluar dari perangkap ini?

Begini, di jaman ayah saya menjadi Direktur Utama Permina, sekarang Pertamina, banyak sekali orang asing yang bekerja di sektor minyak, kenapa? Karena mereka menguasai teknologinya. Itu sebabnya ayah saya tidak menganjurkan nasionalisasi perusahaan minyak supaya kita bisa belajar teknologinya dan bisa bekerja disitu. Belajar sambil bekerja, bekerja sambil belajar. Inilah knowledge based economy. Ayah saya yang memperkenalkan production sharing contract 65:35. Mengapa kita yang 65%? Itu pajak ekspor. Ayah saya mengatakan jangan kasih kami uang tetapi 65% minyak supaya orang saya bisa bekerja disitu.

Kuncinya di penguasaan teknologi?

Jadi saya pernah mengatakan kepada Basuki Tjahya Purnama atau Ahok, Preskom Pertamina, jangan hitung untung rugi melulu. Itu pekerjaan akuntan. Yang harus dipikirkan Pertamina adalah mau pakai energi apa lima atau sepuluh, dua puluh atau lima puluh tahun kedepan? Kapan teknologi baterai? Kapan tenaga matahari, angin dan lain-lain. Teknologi sebagai ilmu terapan itu ada di perusahaan, bukan diserahkan ke pemerintah. Dulu di jaman Pak Tanri Abeng saya tanya katanya tidak ada direktur teknologi. Katanya ada di kementerian. Lho bagaimana? Persaingan teknologi itu antara bisnis dengan bisnis, bukan antara pemerintah. Lihat persaingan Samsung dan Iphone. Tidak ada itu pemeritah Amerika dan Korea Selatan ikut campur. Di dalam buku saya Memeradabkan Bangsa, gambar covernya Candi Borobudur, kenapa? Di candi itu bisa dilihat bahwa teknologi yang dipakai adalah teknologi termaju di dunia pada masa itu, abad ke-7. Sudah ada binary code, sementara komputer baru muncul di abad ke-19.

Ok, tapi bagaimana menggerakan knowledge base itu?

Kita harus memanfaatan daya beli masyarakat terhaap produk dalam negeri. Daya beli masyarakat itu energi kita untuk membangun. Saya adalah ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di usia 29 tahun dan sudah sejak saat itu kita menggelorakan beli produk dalam negeri. Sekarang dengan akselerisasi digitalisasi, siapa yang diuntungkan? Cina yang diuntungkan karena mereka memafaatkan lorong-lorong digital yang terbuka tanpa kendala itu utuk menjual produk mereka. Kita punya uang tetapi utang kita bertambah terus karena perilaku konsumtif kita. Hampir 300 trilun rupiah kita impor BBM. Segala kebutuhan makan- minum harus diimpor. Apa kita malas? Petani kita pekerja keras semuanya.

Apa yang salah?

Jadi begini. Sekarang coba lihat. Subsidi BBM kita 300 triliun rupiah karena kita impor. Bagaimana hitungnya? Dipakai harga tertinggi di New York tetapi nanti dikasih discount. Di situlah permainan pejabat yang tidak bisa dibuktikan korupsinya karena dokumen transaksinya resmi. Pengusaha bukan mencari teknologi tetapi menempel ke pejabat untuk mencari rente. Sekarang kita lihat Cina kenapa maju? Pengusaha di Cina itu 10% dari jumlah penduduknya dan bekerja sangat keras untuk mengalahkan Amerika dengan teknologi. Teknologi ini yang menggerakan seluruh ekonomi Cina, sampai ke industri rumahan. Sekarang, bandingkan dengan kita. Pengusahanya hanya 3% dari jumlah penduduk.

Baik Pak Pontjo. Anda menghimpun berbagai cendekiawan dalam Aliansi Kebangsaan yang Anda bentuk. Apa poin anda di sini?

Saya melihat bahwa tidak banyak orang yang perduli terhadap isu- isu kebangsaan dan kenegaraan kita dan saya mengajak beberapa kaum intelektual untuk berimajinasi bagaimana seharusnya bangsa ini ditata kedepannya. Terlalu banyak kesalahan yang ada dan nampaknya dibiarkan begitu saja. Coba lihat, demokrasi yang kita praktikan setelah reformasi minus kedaulatan rakyat karena tidak ada parlemen setelah MPR dibubarkan. DPR itu bukan parlemen. Dia itu legislator. Parlemen itu kedualatan rakyat. Lalu dijelaskan bahwa MPR itu join session antara DPR dan DPRD padahal dalam kenyataan tidak ada yang digabung karena DPD tidak ada kuasanya. Dan ini sudah 20 tahun tetapi semua orang diam saja. Hal yang lain, biaya politik kita menjadi begitu mahal atas nama demokrasi tetapi orang juga diam saja.

Termasuk masalah GBHN itu?

Menurut saya GBHN itu sesuatu yang harus ada dan tidak bisa digantikan dengan RPJP. RPJP itu kan kampanye presiden. Ini produk kelompok mayoritas. Mesti ada utusan golongan yang mengakomodir kebutuhan kaum minoritas. Orang mempermasalahkan utusan golongan karena cara penunjukkannya. Ya, diubah cara rekrutmennya, bukan dibubarkan. Jadi begini, orisinalnya demokrasi itu tidak memilih orang tetapi memilih program. Kita lihat ada rembug desa, banjar, pela gandong dan lain-lain, itu demokrasi aslinya kita. Ini juga yang bisa menjelaskan soal batas waktu seseorang dapat dipilih menjadi Presiden. Dulu Soekarno tidak ada batas waktu tetapi kalau rakyat tidak menghendaki ya berhenti. Begitu juga Pak Harto. Soal pembatasan masa jabatan itu lebih kemasalah peaceful change of power, menurut saya.

Apa pendapat Anda tentang kembali ke UUD ’45?

Sudah pasti. Tinggal caranya bagaimana. Kembali ke UUD 45 atau amendemen ke-5. Masalahnya Indonesia mau dibangun seperti apa. Tujuannya negara yang merdeka, bersatu adil dan makmur jangan dirubah. Itu yang pertama. Kalau toh ada perubahan di bagian lainnya, kembalikan dulu ke bentuknya yang asli baru dibuat addendum. Dulu MPR dikuasai presiden. Sekarangkan rekrutmennya bisa diatur. Yang penting strukturnya tidak berubah. Jangan ubah Undang-undang Dasarnya. Perubahan hanya dilakukan melalui addendum.

Apa lagi yang menjadi perhatian Anda?

Ya, soal membangun masa depan bersama. Kita ini hanya bisa maju kalau ada karakter yang sama atau bisa dikatakan Indonesian values. Saya buat buku tentang Indonesian Values. Setiap orang Indonesia harus merasa bagian yang tidak bisa terpisahkan satu dengan yang lainnya. Orang Papua harus merasa bagian dari Jakarta dan sebaliknya. Kok sekarang kita sibuk mengajarkan perbedaan antara Indonesia Timur dan Indonesia Barat. Islam non-Islam dan sebagainya? Pada prinsipnya, sistem politik yang bagus itu dapat seratus persen menggerakan partisipasi rakyat. Kita mesti bikin 270 juta penduduk kita bekerja semua. Jangan bikin sekat-sekat, jangan Jawa aja, jangan Islam aja.

Siapa tokoh dalam negeri yang paling Anda kagumi?

Saya mengagumi ayah saya sendiri yang membuat minyak kita menjadi sumber utama APBN kita, hamper tujuh puluh lima persen. Dialah yang yang meleletakkan dasar knowledge base economy dengan memperkenalkan Production Sharing Contract yang dipakai di seluruh dunia. Ya, sama seperti ayah saya, pengusaha yang berpikir knowledge base seperti saya ini selalu dibenci pihak asing.

Kalau tokoh dunia?

Nelson Mandella. Dia yang berhasil merubah mindset masyarakatnya untuk merdeka dan maju setelah perjuangannya yang panjang melawan politik apartheid.

Dengan latar belakang Anda di bidang pariwisata, apa yang dapat Anda katakan mengenai pariwisata kita?

Pariwisata, filosofinya, yang menjadi tuan rumah adalah rakyat. Rakyatlah yang harus menunjukkan hospitality itu dalam keseluruhan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Kenapa wisata di Bali maju dan di Toba tidak? Di Toba tidak maju karena masyarakatnya preman semua. Ingat, inti dari pariwisata itu peradaban, bukan gunung, pantai atau gua. Orang datang ke Bali karena keunikan peradabannya di antara kelompok mayoritas yang ada. Peradaban. Itu yang menjelaskan mengapa perkembangan teknologi komunikasi berbanding lurus dengan perkembangan wisatawan. Orang ingin melihat peradaban yang ada di wilayah lain dari negerinya. Catatan saya yang lain, wisata itu non resource base. Dia knowledge base. Wisata Indonesia itu besar dan kita baru utilisasi 10 persennya saja . Lihat ekonomi kreatif Korea nilainya 3.000 triliun lebih, Indonesia baru bisa mencapai 150 triliun.

Kembali lagi ke Aliansi Kebangsaan. Anda nampak menaruh harapan sangat besar pada kaum cendekiawan, padahal secara politik suara mereka tidak begitu diperhitungkan. Bagaimana?

Saya orang yang mengagumi Budi Utomo. Dialah yang mengilhami kaum terdidik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia setelah dijajah 350 tahun, Saya kira kalau tidak ada Budi Utomo, tidak akan ada itu Bung Karno dan Bung Hatta. Ia cendekiawan yang berpengaruh yang memberi inspirasi tentang kemerdekaan. Ia mengatakan berhenti berkelahi satu sama lain kalu mau merdeka. Lalu lahirlah Sumpah Pemuda. Apa sekarang suara inetelektual seperti sudah tidak ada? Jadi begini, orang intelektual itu orang yang paling bertanggungjawab atas berbagai keterpurukan yang dialami masyarakat atau bangsa karena mereka sesungguhnya yang paling pertama tahu apa yang sedang berjalan secara salah. Dosa kalau mereka diam saja. Dalam Islampun dikatakan bahwa orang yang tau tetapi membiarkan kesalahan itu berlangsung adalah dosa.

Nah, pertanyaan mendasarnya, Indonesia mesti ngapain? Yang bertanggungjawab adalah cendekiawan karena dia yang paling tahu. Protes yang dilakukan oleh cendekiawan itu sesungguhnya esensi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi tanpa protes itu bukan demokrasi. Tentu saja, cara melakukan protes yang harus beradab sehingga kita tidak mengembangkan demokrasi yang barbarian. Ingat, dalam sistem kerajaan pun protes itu dibenarkan, dan raja selalu memerintah dari pendopo sebagai tanda keterbukaan terhadap rakyatnya. Orang mengenal adagium raja disembah raganya, rakyat disembah jiwanya. Selalu ada keterbukaan antara raja dan rakyat. Rakyat boleh protes terhadap raja dengan berdiri diam saja di alun-alun. Demokrasi tidak boleh membunuh suara kritis cendekiawan karena di negara yang bhineka seperti Indonesia jangan pernah berpikir bisa kerja sendiri. Dan yang perlu diingat bahwa dulu orang tidak setuju dengan pemerintah suatu hal yang biasa. Tetapi sekarang ada orang yang mulai tidak setuju dengan bangsa dan cendekiawan harus bekerja. Jangan diam saja.

Albert Rebong

Halaman: 1 2 3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *