Zaman Keemasan Indonesia
Lepas dari fakta historis bahwa Soeharto adalah tokoh and selama masa revolusi fisik dan pasca revolusi fisik, tanya dalam Serangan Umum Sebelas Maret, Operasi
Pembebasan Irian Barat dan Penumpasan Andi Aziz penumpasan gerakan abortive coup PKI, dalam batas tertentu ia telah menghantarkan Indonesia pada masa keemesann yang setelah sebelumnya puruk karena ketegangan-ketegangan politik.
Harga harga kebutuhan pokok yang murah dimasa itu yang berbanding terbalik dengan zaman sekarang ini ditandai pertumbuhan ekonomi yang stabil. Presiden Socharto berhasil merubah wajah Indonesia yang awalnya menjadi negara pengimpor beras menjadi negara wasembada beras yang mensejahterahkan petani. Sektor pembangunan dimasa Presiden Soeharto dianggap paling maju melalui Repelita | sampai Repelita VI.
“Banyak mahasiswa dari luar yang bekuliah disini, di masa Pak Harto. Beda dengan yang terjadi sekarang,” ungkap Wakil Presiden Jusuf Kalla

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang Pambangunan Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun.
“Dalam Repelita 1 (1969-1974), kita melaksanakan pembangunan industri yang kita prioritaskan pada pembangunan industri yang mendukung sektor pertanian. Dalam Repelita II (1974-1979), kita membangun industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. Dalam Repelita III (1979-1984), kita tingkatkan lagi, lebih mengutamakan pembangunan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi dan barang jadi,” kata Pak Harto dalam Otobiografinya Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Selanjutnya ia mengatakan “Rakyat harus diberi pengetahuan bahwa cita-cita masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila tidak dapat dicapai sekaligus, tidak jatuh dari langit begitu saja. Harus diperjuangkan lewat pembangunan secara bertahap sesuai dengan kemampuan.”
Dengan konsepsi Trilogi Pembangunan: Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Orde Baru (New Order) dibawah kepemimpinan Soeharto menjalankan kebijakan yang tidak mengalami rombak pasang selama 32 tahun menuju tahap yang sudah dipikirkan sebelumnya yakni tinggal landas.
Mengawal Sendiri
Tidak banyak yang tahu, kiranya, bahwa setelah jalankan pembangunan terencana sejak Pelita I (Pak Harto langsung memulai perjalanan diam dan menemai rakyamya incognito) untuk menyerap informasi langsung dari masyarakat tentang kebutuhan mereka serta memastikan bahwa program pembangunan yang telah ditetapkan berjalan dengan baik.

Sebuah usaha menelusuri kembali jejak-jejak Pak Harto dalam Insignianya antara tahun 1970 hingga tahun 1976 yang dilakukan oleh Malpudi dkk, misalnya, melakukan dinas tanpa pengawalan dan pemberitahuan, Pak Harto leluasa menikmati makan siang di restoran pinggir jalan antara Cinajur dan Sukabumi. Bagaimana ia bebas berdialog dengan guru dan murid pesantren di Lebaksiu, Tegal, Jawa Tengah. Bagaimana ia memilih tinggal di rumah kepala desa di Dolopo, Madiun, Jawa Timur.
Menginspeksi irigasi dan bahkan memberi nama anak yang baru lahir.
Adi Sasono, mantan Menteri Negara Koperasi Usaha Kecil dan Menengah era pemerintahan Habibie yang dikenal kritis terhadap Orde Baru meng pemahamannya (Pak Harto) mengenai beberapa hal sangat kentara ketika ia mendekati para petani dan orang biasa. Biasanya para pemimpin hanya berdiskusi satu arah dan menyangkut hal-hal yang umum. Pak Harto dapat berdiskusi panjang lebar mengenai beras, cabe dan hal-hal lain yang dekat dengan kehidupan masyarakat.”
Dalam pengamatan pakar Komunikasi Politik Ghazali, metode incognito ini, seiring dengan kesibukan Pak Harto yang menyita waktu dan kemudian digantikan oleh Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa) dibawah Menteri Penerangan Harmoko yang hanya menghasilkan laporan ABS (Asal Bapak Senang). Jika kebenaran harus dikatakan maka gaya blusukan yang juga dilakukan beberapa presiden sesudahnya sebagai bentuk manajemen pemerintahan telah berubah menjadi alat politik pencitraan ketika tidak terjadi korelasi antara aspirasi yang hendak diserap dan kebijakan untuk mengimplementasikannya.









