Home / Footprints / Bang Ali

Bang Ali

Judi dan APBD

Yang juga menarik dari gaya pemerintahan Bang Ali adalah bagaimana dia mengelola APBD dan menyiasati kekurangan dana utuk membiayai proyek-proyek pembangunan di Jakarta. Ini terkait erat dengan kebijakannya melegalisasi judi.

APBD DKI di awal pemerintahan Ali Sadikin sangatlah minim. Dia meminta kepada pejabat senior pemerintah DKI mencari jalan untuk menambah anggaran pendapatan. Atas masukan dari Sekretaris Daerah, Djoemadjitin Sasmitadipradja S.H. dan Kepala Biro II, Wardiman Djojonegoro ketika itu, Bang Ali memutuskan utuk mencari sumber pembiayaan pembangunan kota melalui pajak perjudian. Dia pun segera menertibkan dan memungut pajak dari kegiatan perjudian. Dia melarang perjudian gelap yang waktu itu banyak sekali tersebar di Jakarta, tapi sebaliknya meresmikan dibukanya kasino.

Kebijakan melegalkan judi tentu ditentang banyak orang. “Saya habis-habisan dicaci maki. Karena itu, saya disebut gubernur judi, gubernur maksiat,” kata Bang Ali. Dalam berbagai kesempatan Ali Sadikin selalu berusaha menjelaskan bahwa dia butuh uang untuk pembangunan. “Saya perlu uang untuk sekolah, untuk ini, untuk ini, untuk ini. Pinjam dari bank tidak boleh. Dari luar negeri tidak boleh. Ini ada sumber uang, akan saya ambil. Dan ada undang-undang yang membenarkan saya sebagai gubernur memberikan izin judi. Saya ambil pajaknya untuk biaya membangun.”

Dari pajak judi, Pemerintah DKI memperoleh surplus dana yang kemudian menjadi bahan bakar bagi pembangunan di berbagai bidang. Dengan pajak judi, Ali Sadikin telah membangun 2.400 gedung sekolah, lebih dari 1.200 kilometer jalan raya, memperbaiki kampung, membina pusat kesehatan, masjid, dan penghijauan dengan uang sendiri. “Sebagiannya adalah hasil judi,” kata Bang Ali. Dari pajak judi itu pula, Ali Sadikin berhasil meningkatkan APBD DKI Jakarta dari Rp 1.169.273.293 di awal pemerintahannya pada 1966 menjadi Rp 89.516.580.000 di akhir masa jabatannya pada 1977.

Pada periode awal pemerintahan Bang Ali, proyek-proyek pembangunan digolongkan menurut pembidangan pemerintahan, keamanan dan ketertiban, kesejahteraan rakyat, infrastruktur, perekonomian, dan perbaikan kampung. Bidang infrastruktur mendapat porsi anggaran paling besar, rata-rata lebih dari 40%. Sejak 1974/1975, dengan sudah membaiknya sarana dan prasarana kota, bidang ekonomi, bidang sosial dan bidang umum mendapat anggaran terbanyak, sekitar 60%.

Dalam menyusun anggaran, Ali Sadikin selalu berpedoman kepada ketetapan bahwa anggaran pembangunan harus lebih dari 50% dan anggaran rutin kurang dari 50%. Kendati anggaran rutin ditetapkan di bawah 50%, Bang Ali tetap memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Dia meningkatkan anggaran rutin dari Rp 14.951.990.000 pada 1974/1975 menjadi Rp 39.726.580.000 pada 1977/1978.

Menumbangkan Orde Baru

Ali Sadikin memimpin Jakarta selama sebelas tahun (1966-1977). Selama itu dia telah membuktikan kepemimpinannya yang patut diteladani. Dia berhasil mengangkat Jakarta dari kondisi sangat buruk dan menyedihkan akibat krisis politik dan ekonomi menjadi kota yang mampu menyediakan pelayanan memadai bagi warganya. Dengan wataknya yang keras, dia tunjukkan kesungguhannya untuk membangun kota Jakarta dan memberi pelayanan prima bagi warganya. Dia membuktikan komitmen dan keberpihakannya kepada warga dengan memfokuskan pembangnan pada prasarana dan sarana yang langsung dapat dinikmati warga dan langsung memenuhi kebutuhan warga. Dia pun mewarisi banyak peninggalan bagi kota Jakarta.

Ali Sadikin adalah pemimpin yang berintegritas. Selama memimpin Jakarta dia dikenal sering mengkritik pemerintah pusat. Dalam mempertahankan kebijakannya, dia sering berkonflik dengan menteri-menteri. Bang Ali mengakui bahwa dirinya merupakan satu-satunya gubernur yang berani mengkritik pemerintah pusat, termasuk mengkritik Suharto. Memang sejak periode pertama jabatannya sebagai gubernur, Bang Ali sudah mengambil jarak dari pemerintah karena penyalahgunaan kekuasaan oleh Soeharto.

Setelah selesai menjabat gubernur, Ali Sadikin masih tetap bersikap kritis. Pada 1980, dia bergabung dalam Petisi 50, kelompok yang dengan lantang menyuarakan kritik terhadap Orde Baru. Soeharto tidak menyukai itu. Dia pun dibunuh secara perdata. Kegiatan sosialnya dibatasi. Dia dilarang menghadiri undangan perhelatan resmi atau tidak resmi, seperti menghadiri perayaan hari nasional atau resepsi pernikahan. Bisnisnya dihambat, dan dia dicekal ke luar negeri, termasuk untuk menunaikan ibadah haji. Namun selama itu, dia tetap konsisten pada sikapnya. Dia tetap mengkritik Soeharto dan bersama-sama para aktivis berada dalam barisan oposisi hingga Soeharto tumbang pada 1998.

Ali Sadikin meninggal pada 20 Mei 2008. Dia dikenang tidak hanya sebagai Gubernur Jakarta paling sukses, tetapi juga salah satu tokoh pejuang reformasi yang menumbangkan Orde Baru.

Bud Murdono

Halaman: 1 2 3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *