Keberpihakan
Proyek MHT adalah wujud keberpihakan Bang Ali kepada warga yang tinggal di kampung-kampung. Bagi Bang Ali, warga yang tinggal di kampung-kampung juga mesti menikmati hasil pembangunan. Keberpihakan dan kecintaan Bang Ali kepada warga Jakarta juga tercermin pada hampir semua program pembangunan yang dilancarkannya. Salah satunya adalah mengupayakan ruang publik untuk dimanfaatkan para mudi-mudi Jakarta berekreasi. Untuk itu Pemerintah DKI membangun tempat-tempat seperti Taman Impian Jaya Ancol, Taman Monas, Kebun Binatang Ragunan, dan Taman Ismail Marzuki (TIM).

Pembangunan TIM (komplek bangunan yang tidak hanya merupakan tempar rekreasi, tapi juga pusat kesenian) merupakan wujud keberpihakan Bang Ali terhadap para seniman yang membutuhkan sebuah tempat untuk berkegiatan. Untuk para remaja, Pemerintah DKI juga membangun gelanggang remaja di setiap wilayah sebagai arena kegiatan olah raga, kesenian dan pengembangan bakat lainnya. Ada juga Gelanggang Mahasiswa Soemantri Brojonegoro yang dimaksudkan untuk memfasilitasi kegiatan mahasiswa. Semua itu adalah peninggalan Ali Sadikin yang masib ada dan masih bisa dinikmati sampai sekarang.
Masih banyak lagi proyek-proyek pembangunan di Jakarta semasa kepemimpinan Bang Ali yang menunjukkan keberpihakannya kepada warga, antara lain Jakarta Fair yang dimaksudkan sebagai usaha pemerintah daerah untuk menambah dan mencukupi tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang sehat bagi warga kota. Ada juga penyelenggaraan karnaval “Malam Muda-Mudi di sepanjang Jl. Thamrin pada perayaan ulang tahun Jakarta. Terhadap warga termarjinalkan seperti kaum waria pun Bang Ali menunjukkan keberpihakan dan perlindungannya. Dia mengumpulkan, menemui dan mengajak bicara para waria dan para waria itu pun merasa terhormat bisa bertatap muka dengan gubernur. Bang Ali berpikir kaum waria harus berdaya, menggali potensinya, berpendidikan, dan bekerja secara halal. Untuk itu dia pun memfasilitasi para waria mengelola tempat hiburan dan membentuk organisasi.
Kepeloporan dalam Pemerintahan
Kepemimpinan Ali Sadikin sebetulnya tidak hanya ditandai oleh hasil pembangunannya yang spektakuler. Mungkin tidak banyak diekspos bahwa Bang Ali banyak melakukan pembaruan dalam pemerintahan. Dia meletakkan dasar tertib pemerintahan yang sebelumnnya tidak ada. Salah satunya terkait dengan dualisme yang pernah ada dalam struktur pemerintahan daerah. Sebelumnya, dalam pemerintahan daerah terdapat dua perangkat yang secara struktural terpisah, yaitu perangkat pemerintah pusat dan perangkat pemerintah daerah. Bang Ali menghilangkan dualisme ini dengan menerapkan doktrin “hanya ada satu perangkat pemerintah daerah sehingga pejabat seperti Sekwilda tidak lagi merasa menjadi orang pusat.

Ali Sadikin juga mempelopori adanya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bappeda DKI Jakarta sudah ada sejak 19 Juni 1968. Pendiriannya dimaksudkan untuk mengembangkan partisipasi masyarakat. Badan ini tidak cuma diisi oleh birokrasi pemerintah daerah. Wakil-wakil pelbagai kepentingan yang hidup di masyarakat dilibatkan di dalamnya. Baru enam tahun kemudian, Bappeda dibentuk di daerah-daerah lain dengan Keputusan Presiden Tahun 1974 dan kini menjadi satuan kerja pemerintah daerah.
Masih banyak lagi kepeloporan Pemerintah DKI Jakarta semasa kepemimpinan Ali Sadikin yang kemudian diterapkan atau ditiru oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Seperti, menetapkan batik sebagai pakaian resmi di wilayah DKI Jakarta, penyelenggaraan Abang-None Jakarta dan penghijauan kota.
Kebijakan-kebijakan Kontroversial
Hal lain yang juga tidak mungkin terhapus dari memori sejarah Jakarta adalah beberapa kebijakan kontroversial Pemerintah DKI selama kepemimpinan Bang Ali. Di antaranya adalah lokalisasi prostitusi, legalisasi judi dan kebijakan menjadikan Jakarta sebagai kota tertutup.
Lokalisasi prostitusi dimaksudkan untuk membatasi perkembangan prostitusi itu sendiri dan memudahkan pembinaan. Kebijakan ini tentu banyak yang menentang, terutama tokoh-tokoh agama. Namun Bang Ali tetap yakin kebijakan itu merupakan jalan untuk mananggulangi masalah pelacuran di Jakarta yang waktu itu sangat gawat. Dan memang, dengan kebijakan lokalisasi itu, Pemerintah DKI berhasil melakukan rehabilitasi dan resosialisasi terhadap belasan ribu pekerja seks, mengembalikan mereka ke kehidupan yang normal dan mencari pekerjaan yang lebih layak.
Kebijakan menjadikan “Jakarta sebagai kota tertutup” merupakan upaya untuk mengatur dan mengurangi laju pertumbuhan penduduk Jakarta. Kebijakan ini cukup mengejutkan publik. Semua warga diwajibkan untuk memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Hanya mereka yang berKTP Jakarta yang diizinkan menetap di Jakarta. Razia untuk mengumpulkan para imigran ilegal pun sering dilakukan. Mereka yang tidak memilik identitas yang jelas dikembalikan ke daerah asal mereka, Namun, kebijakan “Jakarta sebagai kota tertutup” ini terbilang gagal. Banyak imigran yang berhasil menetap di Jakarta dengan membuat KTP palsu. Juga banyak penduduk Jakarta yang menyembunyikan para migran sehingga kehadirannya di Jakarta tidak terdeteksi oleh aparat Pemerintah DKI.
Bang Ali juga secara bertahap melarang beroperasinya becak di jalan-jalan ibu kota. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil. Jumlah becak di Jakarta menurun drastis. Di masa akhir jabatannya, becak-becak hampir tidak terlihat lagi di jalan-jalan Jakarta, kecuali di kawasan pinggiran. Becak diperbolehkan beroperasi kembali pada masa Gubernur Tjokropranolo, tapi kemudian dilarang lagi pada masa pemerintahan Gubernur Suprapto hingga Gubernur Ahok. Belakangan Gubernur Anies Baswedan sempat memperbolehkan beroperasinya kembali becak-becak di Jakarta, meskipun gagasan ini tidak mendapat sambutan dari masyarakat. Mungin karena becak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan transportasi di Jakarta.








