Di tengah riuh rendah isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan global, suara seorang anak perempuan dari Gresik, Jawa Timur, menggema sampai ke forum-forum dunia.
Namanya Aeshnina Azzahra Aqilani, atau lebih akrab disapa Nina. Lahir pada 17 Mei 2007, Nina bukan anak biasa. Ia tumbuh dalam keluarga aktivis lingkungan—ayahnya adalah Direktur Eksekutif Ecoton, lembaga konservasi lahan basah, sementara ibunya juga aktif sebagai peneliti lingkungan.
Sejak kecil, Nina akrab dengan aroma lumpur sungai dan tumpukan sampah plastik. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Sungai Brantas, sumber kehidupan jutaan orang di Jawa Timur, dipenuhi limbah rumah tangga, industri, dan sampah kiriman dari luar negeri. Saat anak-anak seusianya sibuk bermain gadget, Nina justru sibuk mengumpulkan bukti pencemaran mikroplastik bersama orang tuanya.

Pada usia 12 tahun, Nina mengambil langkah yang luar biasa. Ia menulis surat-surat protes kepada pemerintah Amerika Serikat, Jerman, Australia, dan Kanada—negara-negara yang mengekspor sampah plastik ke Indonesia. Surat-surat itu dikirim langsung ke kedutaan besar negara terkait. Dalam bahasa Inggris yang fasih, Nina menyuarakan kemarahan dan harapan: agar Indonesia tidak lagi menjadi “tempat sampah dunia.”
Tindakannya yang lugas namun penuh empati itu menggugah perhatian dunia. Media internasional mulai menyoroti aksinya. Beberapa negara bahkan meninjau ulang kebijakan ekspor sampah mereka. Dari surat sederhana itu, suara Nina menjelma menjadi simbol perjuangan anak muda Indonesia melawan ketidakadilan ekologis global.
Tidak berhenti di situ, Nina kemudian diundang ke berbagai forum bergengsi, termasuk Plastic Health Summit di Amsterdam, Konferensi Iklim PBB (COP26) di Glasgow, serta INC5 di Busan, Korea Selatan, di mana ia berbicara tentang bahaya mikroplastik terhadap tubuh manusia dan bumi. Ia bukan sekadar pembicara simbolik. Ia datang dengan data, pengalaman lapangan, dan suara anak-anak yang selama ini terpinggirkan dalam percakapan besar soal lingkungan.

Untuk kontribusinya, Nina dianugerahi gelar Young Ambassador oleh EndPlasticSoup, organisasi internasional yang bergerak melawan polusi plastik. Ia juga membentuk komunitas River Warriors, yang beranggotakan anak-anak muda dan pelajar yang peduli pada kebersihan sungai. Mereka rutin mengadakan edukasi, patroli sungai, dan kampanye daur ulang di sekolah-sekolah.
Bagi Nina, perjuangan bukan soal panggung atau sorotan media. Ia percaya bahwa semua anak, di mana pun mereka tinggal, punya hak atas lingkungan yang bersih dan sehat. Ia membuktikan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari orang dewasa atau pemimpin negara—tetapi bisa dari seorang anak kecil yang berani bertanya dan bertindak.
“Saya ingin dunia tahu, anak-anak Indonesia tidak diam saat bumi dirusak,” kata Nina dalam salah satu pidatonya.
Kini, Aeshnina Azzahra tidak hanya dikenal sebagai aktivis lingkungan termuda di Indonesia, tetapi juga sebagai simbol harapan baru: bahwa masa depan bisa dimulai hari ini, dari tangan kecil yang berani melawan arus. Dan Indonesia bangga memilikinya.
The Editor







