Akhir Kepemimpinan dan Keabadian Gagasan
Konflik politik memuncak pada Juli 2001, ketika MPR menggelar Sidang Istimewa dan memutuskan untuk memberhentikan Gus Dur dari jabatan presiden. Ia digantikan oleh Megawati Soekarnoputri. Meski tak lagi menjabat, Gus Dur tidak pernah berhenti bersuara. Ia tetap aktif sebagai tokoh bangsa, kolumnis, pemikir, dan pembicara dalam berbagai forum nasional maupun internasional.

Ia sering berbicara tentang pluralisme, demokrasi, dan pentingnya humor dalam berpolitik. Gus Dur adalah sosok yang mampu menyampaikan kritik tajam dengan candaan yang cerdas. Tak heran jika banyak yang menyebutnya sebagai “Bapak Pluralisme Indonesia” dan juga “Presiden dengan 1000 humor.”
“Tuhan tidak perlu dibela. Yang perlu dibela itu hak-hak manusia yang ditindas.”
— Abdurrahman Wahid
Wafat dan Warisan
Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta akibat komplikasi penyakit. Kepergiannya menjadi duka nasional. Ribuan orang dari berbagai latar belakang mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Hingga kini, pemikiran dan warisan Gus Dur terus hidup dalam ingatan masyarakat. Lahirnya komunitas “Gusdurian” yang dipimpin oleh anak-anak ideologisnya menjadi bukti bahwa nilai-nilai yang ia perjuangkan masih relevan dan dibutuhkan.
Pemimpin di Atas Sekat
Gus Dur adalah pemimpin yang melampaui sekat-sekat identitas. Ia adalah ulama yang berbicara tentang demokrasi, presiden yang membela minoritas, dan cendekiawan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ia bukan tanpa kekurangan, tetapi ketulusannya dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan tidak diragukan.

“Saya ini buta, tapi saya tidak tuli. Saya masih bisa mendengar suara rakyat.”
— Abdurrahman Wahid
Indonesia mungkin akan terus mengalami perubahan politik dan sosial, tetapi nilai-nilai yang diperjuangkan Gus Dur—keberagaman, kemanusiaan, dan kebebasan berpikir—akan tetap menjadi pijakan penting dalam kehidupan berbangsa.
The Editor








