Home / Footprints / Gus Dur: Ulama, Humanis, dan Presiden Rakyat

Gus Dur: Ulama, Humanis, dan Presiden Rakyat

Reformis di Tubuh NU

Pada tahun 1984, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia menggagas kembali ke khittah 1926, yakni menjadikan NU murni sebagai organisasi sosial-keagamaan, bukan partai politik. Langkah ini monumental, mengingat NU saat itu masih terlibat dalam politik praktis.

Di bawah kepemimpinan Gus Dur, NU tidak hanya berkembang secara kelembagaan, tetapi juga menjadi pusat pemikiran Islam moderat dan toleran. Ia membuka ruang dialog antara agama, memperkuat peran pesantren, dan aktif dalam isu-isu sosial-politik yang lebih luas.

“Demokrasi tanpa kebebasan berpikir adalah omong kosong.”
Abdurrahman Wahid

Pendiri PKB dan Langkah ke Dunia Politik

Reformasi 1998 membuka peluang baru bagi demokrasi Indonesia. Setelah lengsernya Soeharto, Gus Dur bersama tokoh-tokoh NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 23 Juli 1998. Partai ini menjadi kendaraan politik baru yang tetap berakar pada nilai-nilai keislaman yang inklusif dan nasionalis.

Pada Pemilu 1999, PKB meraih hasil signifikan. Dalam Sidang Umum MPR, Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia pada 20 Oktober 1999, menggantikan BJ Habibie. Ia menjadi presiden pertama dari kalangan masyarakat sipil, seorang kiai, bukan militer, bukan birokrat, dan bukan tokoh partai besar.

Presiden Rakyat: Pluralisme dan Pembela Minoritas

Masa kepresidenan Gus Dur (1999–2001) walau singkat, penuh warna. Ia dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tidak konvensional, cenderung santai, tapi penuh kejutan. Salah satu terobosan besar yang paling diingat adalah keberpihakannya pada kelompok-kelompok minoritas dan hak-hak sipil.

Gus Dur mencabut larangan perayaan Imlek dan menetapkannya sebagai hari libur nasional. Ia juga menghapus diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa, membuka ruang dialog lintas agama, dan memperjuangkan perdamaian di daerah konflik seperti Aceh dan Papua.

“Kita tidak boleh memaksakan keseragaman, karena Indonesia dibangun di atas keberagaman.”
Abdurrahman Wahid

Kebijakan-kebijakan tersebut membuatnya dicintai oleh banyak kalangan. Namun, gaya kepemimpinannya yang tidak mengikuti arus politik tradisional juga menimbulkan resistensi di parlemen dan kalangan elite politik. Ia sering berseteru dengan DPR dan menghadapi upaya sistematis untuk menjatuhkannya.

Halaman: 1 2 3

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *