Di tengah gejolak politik dan perubahan besar di Indonesia pasca-reformasi, satu nama mencuat sebagai simbol toleransi, keberanian, dan pluralisme: Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab disapa Gus Dur. Tokoh yang satu ini bukan hanya dikenal sebagai pemimpin umat, tetapi juga sebagai pemimpin bangsa dengan pandangan yang melampaui zamannya. Dari dunia pesantren hingga Istana Merdeka, perjalanan Gus Dur adalah kisah tentang perjuangan, kemanusiaan, dan keberanian berpikir merdeka.

“Tidak penting apa agama dan sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
— Abdurrahman Wahid
Anak Pesantren yang Mendunia
Gus Dur lahir pada 7 September 1940 di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga ulama terpandang. Ia adalah cucu dari KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), dan putra KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama RI. Sebagai anak pesantren, Gus Dur tumbuh dalam tradisi keilmuan Islam yang kuat, namun pikirannya terbuka terhadap dunia luar.

Ia melanjutkan pendidikan ke luar negeri: Mesir (Universitas Al-Azhar), Irak (Universitas Baghdad), dan sempat studi di Prancis serta Belanda. Di sanalah ia memperkaya pemikirannya dengan ide-ide demokrasi, hak asasi manusia, dan filsafat Barat. Perpaduan antara nilai Islam tradisional dan modernisme inilah yang membentuk karakter unik Gus Dur.








