Dengan fisik prima yang terjaga semenjak usia remaja, Iwan Setiawan terpilih dari sekian Prajurit Kopassus lainnya untuk mengibarkan Merah Putih di puncak tertinggi di dunia, Everest, di tahun 1997—mendahului ambisi yang sama dari negara tetangga Malaysia. Dan ia beserta kelompok yang dipimpinnya berhasil melakukannya di bawah kondisi yang tak masuk akal buat mereka yang hidup di iklim tropis, minus 50 derajat celcius.
Tak banyak yang tahu bahwa aksi heroik ini membawa misi dan pesan diplomasi yang penting untuk Indonesia. Sebagai Negara berkembang, misi ini ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa duduk sejajar dengan negara-
negara maju lainnya di belahan dunia Barat. Dan pencapaian ini memberi tempat khusus bagi Indonesia sebagai Negara Asia Tenggara pertama yang mampu mencapai puncak tertinggi di dunia. Sebagai prajurit dari pasukan elit Angkatan Darat, Iwan yang pada saat itu (1997) berpangkat Letnan Satu, berumur 29 tahun, mengatakan kepentingan Negara ada di atas segalanya dan menjadi kebanggaan Baret Merah adalah impian setiap prajurit. Baret Merah di kepalanya juga berarti “Lebih Baik Pulang Nama Daripada Gagal Dalam Medan Laga”. Tempaan dan gemblengan baik fisik maupun mental di Kopassus membuatnya menafikan semua hambatan.

“Medan yang berat, suhu ekstrim, persiapan yang minim, hanya tiga bulan. Ini mission impossible. Ini bukan tempatnya manusia normal. Tapi tekad sudah bulat. Nyawa hilangpun sudah panggilan tugas,” ujar lulusan Akademi Militer tahun 1992 ini kepada Lider.
Menurut catatan wartawan dan Pegiat Alam Terbuka Effendi Soen, sejak Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay tercatat mencapai puncak Everest pada tahun 1953, sudah berlangsung lebih dari 11 ribu ekspedisi pendakian ke puncak Everest, melibatkan 6 ribu lebih pendaki yang mencapai puncak hingga tahun 2022 ini. Sementara itu, bagi Korps Baret Merah, sejarah pendakian ke medan gunung es sudah dimulai oleh para pendahulu RPKAD di tahun 1960-an ketika para pendaki dan pelatih senior menjelajahi puncak-puncak kawasan pegunungan Jayawijaya. Keahlian pendakian dan pemanjatan tebing dan gunung itu kemudian dikembangkan lagi saat Baret Merah berubah nama menjadi Kopassus dari nama sebelumnya Kopasandha pada tahun 1985.

“Dan kesuksesan Indonesia mencapai puncak Everest tahun 1997 yang dimotori Mayjen TNI Prabowo Subianto selaku Danjen Kopassus, Letkol Inf Pramono Edy Wibowo selaku Dansatgas, Kapten Inf Rochadi selaku koordinator lapangan serta Lettu Inf Iwan Setiawan selaku Team Leader merupakan puncak supermasi kemampuan penguasaan medan pegunungan es oleh militer Indonesia di matra darat,” tulis Effendi.

Iwan Setiawan, putra kelahiran Babakan Cibolang, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 54 tahun lalu, tekun meniti karier di dalam Pasukan Khusus Angkatan Darat ini sebagai seorang perwira muda hingga pangkat tertinggi Mayor Jenderal pada saat sekarang. Berbagai tugas dan posisi sudah ia jalankan dalam pengabdiannya pada Negara Kasatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan semangat patriotisme yang tak pernah kendor.
“Tugas dan jabatan bagi saya adalah representasi dari sikap totalitas saya. Sepanjang karir kemiliteran, saya hanya bekerja dan berbuat yang terbaik.Toh, yang menilai adalah atasan. Jika karena apa yang saya perbuat saya diberikan jabatan, itu rejeki buat saya. Kalaupun tidak mendapatkan jabatan, saya selalu berpikir belum rejeki saya. Saya tidak pernah mengeluh. Lakukan yang terbaik, itu dulu,” kata suami Beti Iwan Setiawan ini.
Sebelum dipercaya Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjabat sebagai Komandan Jenderal Komado Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), sebuah posisi prestisius di dalam tubuh TNI, ia bertugas sebagai Wakil Asisten Latihan Kepala Staf Angkatan Darat (Waaslat Kasad) Bidang Kerja Sama Militer (Kermamil), setelah sebelumnya mengemban tugas sebagai Pamen Denma Markas Besar TNI Angkatan Darat dalam rangka mengikuti Pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), lembaga yang memberikan sentuhan akhir untuk para pejabat publik. Iwan Setiawan tercatat sebagai peserta Lemhanas Angkatan 57 tahun 2019.






